Apakah Dajjal itu sudah ada pada zaman Nabi saw? Sebelum menjawab kedua pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita harus mengetahui keadaan Ibnu Shayyad, apakah dia itu Dajjal atau bukan?
Kalau Dajjal itu bukan Ibnu Shayyad, maka apakah dia telah ada sebelum kemunculannya dengan membawa fitnah?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, marilah kita mengenai Ibnu Shayyad terlebih dahulu.
Ibnu Shayyad
Namanya: Shafi, dan ada yang mengatakan Abdullah bin Shayyad atau Shaid.
Ia berasal dari kalangan Yahudi Madinah, ada yang mengatakan dari kalangan Anshar, dan dia masih kecil ketika Nabi saw tiba di Madinah.
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dia adalah Aslam, dan anaknya, "amaroh, salah seorang pemuka tabi'in. Imam Malik dan lain-lainnya meriwayatkan hadits darinya. (An-Nihaya Fil Fitan 1: 128 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini).
Adz-Dzahabi mengemukakan biodatanya dalam kitab beliau Asmaush-Shaha-bah. Beliau berkata, "Abdullah bin Shayyad dicatat oleh Ibnu Syahin. Beliau berkata, "Dia adalah Ibnu Shaaid. Ayahnya seorang Yahudi, lalu Abdullah dilahirkan dalam keadaan buta sebelah matanya dan sudah berkhitan. Dialah yang dikatakan orang sebagai Dajjal, lalu dia masuk Islam. Dan dia adalah orang tabi'i. (Tajridu Asmaish-Shahabah 1: 319 nomor 3366 karya Al- Hafizh Adz-Dzahabi, terbitan Darul Ma'rifah, Beirut).
Perkataan Adz-Dzahabi itu kemudian dikutip pula oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-lshobah, lalu beliau berkata, "Dia adalah orang yang punya putera "Amaroh bin Abdullah bin Shayyad, termasuk orang pilihan kaum muslimin dan sahabat Sa'id bin Al- Musayyab. Imam Malik dan lain-lainnya meriwayatkan hadits dari beliau."
Kemudian Ibnu Hajar menyebutkan sejumlah hadits tentang Ibnu Shayyad -sebagaimana akan kami kutip di sini- lalu beliau berkata, "Secara garis besar, tidak artinya menyebut Ibnu Shayyad dalam kelompok sahabat. Sebab, kalau dia itu Dajjal, maka sudah barang tentu dia bukan sahabat, karena dia mati kafir; dan kalau Ibnu Shayyad itu bukan Dajjal, maka ketika bertemu Nabi saw dia belum masuk Islam." (Al-lshobah Fi Tamyizish-Shahabah, pada bagian keempat, dalam pembahasan tentang orang yang bernama "Abdullah", juz 3, halaman 133 karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, terbitan As-Sa'adah, Mesir, cetakan pertama, 1328 H.).
Tetapi jika ia masuk Islam setelah itu, maka ia adalah seorang Tabi'i yang pernah melihat Nabi saw sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi.
Dan di dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar mengidentifikasi 'Amarah Ibnu Shayyad dengan mengatakan, "Amaroh bin Abdullah bin Shayyad Al-Anshari Abu Ayyub Al-Madani, meriwayatkan hadits dari Jabir bin Abdullah dan Sa'id bin Al-Musayyab serta Atha' bin Yasar, sedang Adh-Dhahhak bin Utsman dan Imam Malik serta lain-lainnya meriwayatkan hadits dari Amaroj.
Ibnu Ma'in dan Nasai berkata, "Dia seorang kepercayaan." Abu Hatim ber¬kata. "Dia seorang yang shalih haditsnya." Ibnu Sa'ad berkata, "Seorang kepercayaan, dan sedikit hadits yang diriwayatkannya. Dan Malik bin Anas tidak mengunggulkan seorang pun atas dia."
Mereka mengatakan, "Kami adalah putera-putera Usyaihab bin Najjar, lalu mereka terkenal dengan Bani Najjar. Mereka sekarang menjadi kawan setia (mengikat janji setia) dengan Bani Malik bin Najjar, dan tidak diketahui dari keturunan siapa mereka ini." (Tahdzibut-Tahdzib 7: 418, nomor 681).
Ihwal Ibnu Shayyad
Ibnu Shayyad adalah seorang pembohong besar dan kadang-kadang melakukan praktek tukang tenung, maka adakalanya benar dan adakalanya dusta. Maka tersiarlah kabar di kalangan manusia bahwa dia adalah Dajjal, sebagaimana akan disebutkan da¬lam pengujian Nabi saw terhadapnya.
Ketika tersiar di kalangan orang banyak perihal Ibnu Shayyad sebagai Dajjal, maka Nabi saw ingin mengetahuinya secara jelas, lalu beliau pergi menemui Ibnu Shayyad dengan menyamar (tidak menampakkan identitasnya) sehingga Ibnu Shayyad tidak mengetahuinya, dengan harapan beliau dapat mendengar sesuatu darinya, ke¬mudian beliau menghadapkan beberapa pertanyaan kepadanya untuk mengungkap hakikatnya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Umar pernah pergi bersama Nabi saw dalam suatu rombongan untuk menemui Ibnu Shayyad, hingga mereka berhasil menemuinya ketika ia sedang bermain-main dengan anak-anak kecil di sebelah bangunan yang tinggi seperti benteng yang ada di antara lembah kaum Anshar. Ketika itu Ibnu Shayyad sudah hampir dewasa, dan dia tidak merasa akan kedatangan Nabi saw sehingga beliau memukulnya dengan tangan beliau seraya bertanya, "Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul Allah?" Lalu Ibnu Shayyad melihat kepada beliau lantas berkata, "Saya bersaksi bahwa engkau adalah Rasul bagi orang-orang ummi (buta huruf)."
Selanjutnya Ibnu Shayyad berkata, "Apakah engkau bersaksi bahwa saya utusan Allah?"
Nabi menjawab, "Aku beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Bagaimana pandanganmu?"
Ibnu Shayyad berkata, "Telah datang kepadaku seorang yang jujur dan seorang pendusta."
Nabi bersabda, "Pikiranmu kacau-balau. Apakah saya menyembunyikan sesua¬tu terhadapmu?"
Ibnu Shayyad menjawab, "Asap."
Nabi bersabda, "Duduklah, sesungguhnya engkau tidak akan dapat melampaui kedudukanmu."
Umar berkata, "Biarkanlah saya pukul kuduknya, wahai Rasulullah."
Nabi bersabda, "Jika ia menyindir, maka engkau tidak dapat menguasainya. Tapi jika ia tidak menyindir, maka tidak ada kebaikan untukmu dalam membunuhnya." (Shahih Bukhari, Kitabul Janaiz, Bab Idza Aslama Ash-Shabiyyu fa maata Hal Yusholla 'alaihi wa Hal Yu 'rodhu 'Ala Ash-Shabiyyi Al-hlamu 3:217).
Dan dalam satu riwayat disebutkan bahwa Nabi saw bertanya kepada Ibnu Shayyad, "Apakah yang engkau lihat?" Dia menjawab, "Saya melihat singgasana di atas air." Rasulullah saw bersabda, "Engkau melihat singgasana iblis di laut, dan apa lagi yang engkau lihat?" Dia menjawab, "Saya melihat dua orang yang jujur dan se¬orang pendusta, atau dua orang pendusta dan seorang yang jujur." Kemudian Ra¬sulullah saw bersabda, "Pikirannya sedang kacau-balau, biarkanlah dia!" (Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah, Bab Dzikir Ibni Shayyad 18: 49-50).
Ibnu Umar menceritakan dalam versi lain, "Setelah itu Rasulullah saw bersama Ubay bin Ka'ab pergi ke kebun kurma yang di sana terdapat Ibnu Shayyad. Beliau berjalan pelan-pelan karena ingin mendengar sesuatu dari Ibnu Shayyad sebelum Ibnu Shayyad mengetahui beliau, lalu Nabi saw melihatnya sedang berbaring di atas sehelai kain miliknya yang ada tandanya. Lalu ibu Ibnu Shayyad melihat Rasulullah saw yang sedang berlindung di balik batang pohon kurma, lantas ia berkata kepada Ibnu Shay¬yad, "Wahai Shafi -nama ibu Ibnu Shayyad yang sebenarnya- ini adalah Muhammad saw!" Lalu Ibnu Shayyad lari. Kemudian Nabi saw bersabda, "Seandainya ibunya membiarkannya, niscaya akan nampak jelas masalahnya." (Shahih Bukhari 3: 218)..
Abu Dzar ra berkata, "Rasulullah saw pernah mengutus saya untuk menemui ibunya. Beliau bersabda, "Tanyakanlah kepadanya berapa lama ia mengandungnya. " Lalu saya datang kepadanya dan menanyakannya, kemudian ia menjawab, "Aku me¬ngandungnya selama dua belas bulan. " Abu Dzar berkata, "Kemudian beliau menyuruh saya untuk menanyakan bagaimana ia berteriak (menangis) sewaktu dilahirkan. Lalu saya kembali lagi kepadanya dan menanyakannya. Kemudian ia menjawab, "Dia menangis seperti menangisnya bayi yang sudah berusia satu bulan. " Kemudian Ra¬sulullah saw bersabda kepadanya, "Sesungguhnya saya menyembunyikan sesuatu kepadamu." Dia berkata, "Engkau menyembunyikan bagian depan hidung dan mulut (cingur) kambing serta asap kepadaku." Kata Abu Dzar, "Ia hendak mengucapkan ad-dukhon tetapi tidak dapat, lalu ia mengungkapkan ad-dukh, ad-dukh. " (Musnad Ahmad Ahmad 5: 148. Ibnu Hajar berkata, "Shahih.").
Maka pengujian Nabi saw terhadapnya dengan "ad-dukhon" adalah untuk mengetahui hakikat urusannya.
Dan yang dimaksud dengan "ad-dukhon" di sini ialah firman Allah:
"Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata. " (Ad-Dukhon: 10).
Dan di dalam riwayat Ibnu Umar seperti yang diriwayatkan Imam Ahmad: "Aku menyembunyikan sesuatu terhadapmu. " Dan beliau menyembunyikan apa yang terkandung dalam ayat:
"...hari ketika langit membawa kabut yang terang. " (Musnad Ahmad 9 : 139, hadits nomor 6360 dengan tahqiq Ahmad Syakir. Beliau berkata, "Isnadnya shahih.".
Ibnu Katsir berkata, "Ibnu Shayyad dapat mengungkapkannya lewat jalan para dukun dengan lisan jin, dan mereka memotong ungkapan itu. Karena itu ia berkata, ad-dukh, yakni ad-dukhon. Ketika itu tahulah Rasulullah saw materinya bahwa itu dari syetan. Lalu beliau bersabda, "Duduklah, engkau tidak akan dapat melampaui kedudukanmu." (Tafsir Ibnu Katsir 7: 234).
Kematian Ibnu Shayyad
Dari Jabir ra ia berkata, "Kami kehilangan Ibnu Shayyad pada musim panas. " ( 'Annul Ma 'bud Syarah Sunan Abi Daud 11 : 476).
Ibnu Hajar mengesahkan riwayat di atas dan melemahkan pendapat orang yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad meninggal dunia di Madinah dan mereka membuka wajahnya serta menyalati jenazahnya. (Fathul-Bari 13: 328).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar